Oleh: Iwit Widhi Santoso *)
*) Penulis adalah penasehat Forum Pewarta Pacitan (FPPA)
BEBERAPA hari lagi rakyat memilih. Pesta demokrasi lima tahunan ini menawarkan banyak mimpi. Partai peserta Pemilu bermimpi menjadi pemenang. Para calon legislatif bermimpi menjadi wakil rakyat di parlemen. Dan rakyat pun bermimpi ada perubahan perbaikan dalam kehidupannya.
Sebagai negara demokrasi, pemerintahan di Indonesia berlandaskan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun ini, Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) dilakukan serentak. Dalam Pilpres, siapapun pemenangnya, tentu yang mendapat dukungan kuat dari rakyat. Dengan dukungan tersebut, diharapkan presiden dan wakil presiden terpilih dapat melaksanakan tujuan nasional, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukan Undang-Undang Dasar 1945.
Yakni, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tentunya, Pemilu, merupakan sarana untuk merealisasikannya. Kesadaran masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu menandakan dukungan terhadap pelaksanaan pemilu dan demokrasi. Pada saat pemilu, diharapkan masyarakat ikut serta menyukseskan proses ini dengan cara mengawasi pelaksanaannya.
Begitu juga dengan Pileg. Sebab, negara menjamin bahwa setiap warga negara memiliki wakil yang duduk di lembaga legislatif. Tujuannya tentu untuk menyuarakan sekaligus meperjuangkan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan. Baik di pemerintah pusat hingga daerah.
Namun pada kenyataanya, Pemilu bagi sebagian kalangan rakyat justru melahirkan sikap yang acuh. Sebab, hajatan politik ini hanya menjadi ritual yang dirasa belum mampu mewakili kepentingan substansial rakyat kecil pada umumnya.
Adalah wajar, perasaan diperalat para elit timbul dalam kesadaran mereka. Sebagai konstituen, rakyat seharusnya mendapat perlakuan istimewa. Kapan dan di manapun berada. Ironisnya, prinsip rakyat sebagai raja hanya muncul pada tempat dan momen tertentu. Rakyat dimanja ketika Pemilu diambang pintu. Kemudian dilupakan tatkala pesta itu usai. Inilah kenyataan yang selalu terulang setiap kali bangsa ini melangsungkan pesta demokrasi.
Sebenarnya, harapan masyarakat dapat dikatakan sederhana: menumpukan harapan kepada wakil-wakilnya yang terpilih saat pemilu. Baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Baik para anggota parlemen, maupun kepala daerah hingga kepala negara. Dan para wakil yang terpilih ini, diharapkan merupakan tokoh yang mumpuni, nasionalis, bersih dari korupsi, serta konsisten membela kepentingan rakyat.
Sebab suara sudah disalurkan rakyat, prosedur sudah dilaksanakan, dan pemilu yang tidak murah, tentu ada sebuah harapan besar. Yakni wakil yang terpilih itu harus tanggap dalam membela rakyat di semua lini kehidupan.
Kondisi tersebut, tentu harus diimbangi dengan peran aktif seluruh elemen rakyat, dalam mengontrol kinerja para wakil-wakilnya yang telah dipilih melalui pemilu tersebut. Upaya itu, sekaligus mengawal mimpi-mimpi masyarakat yang ditumpukan kepada para wakil tersebut. Baik di tingkat pemerintahan legislatif maupun eksekutif. Mengingat pemilu merupakan sarana demokrasi untuk memilih wakil rakyat guna menyalurkan mimpi tidak hanya di tataran legislatif, tetapi juga di eksekutif. Baik dari tingkat bawah, hingga level pemerintahan pusat.
Tentu, para wakil terpilih, harus dapat menjauhkan sifat dan sikap eksklusif. Termasuk bertindak tirani, yang dapat menghancurkan alam demokrasi. Para wakil tersebut, harus mampu menjalankan tugas pokok serta fungsi dari amanah yang diembannya. Seperti di tataran legislatif, mampu menjadi wakil rakyat yang baik dalam upaya legislasi, anggaran hingga pengawasan terhadap roda pemerintahan. Begitu pula sikap yang dilakukan oleh wakil rakyat yang duduk di tingkat eksekutif. Sehingga mimpi masyarakat dapat terealisasi, terutama cita-cita besar rakyat Indonesia: terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga! (*)