NGAWI. Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) suatu program pemerintah pro rakyat. Program tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.6 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan Instruksi Presiden No.2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Namun belakangan ini ada berbagai informasi yang tumpang tindih dilevel bawah khususnya desa. Menyusul permasalahan pecah sertifikat dari pemilik utama ke pihak kedua dan selanjutnya yang kerap dikenal oleh masyarakat desa dengan ‘pecah petok/tumpi’ bermuara pada munculnya SPPT baru.
Ada sebagian pihak menyebutkan untuk memproses menuju pecah sertifikat yang dimaksudkan muncul biaya yang tidak sedikit bahkan per satuan bidang sampai tembus Rp 700 ribu. Usut punya usut munculnya biaya itu bukan di level BPN melainkan diranah birokrasi desa dengan alasan sudah di ‘Perdeskan’ (Peraturan Desa – red).
Padahal dari regulasi pembanding dengan desa yang berdekatan pun tidak sama. Ada yang dikenakan biaya ada yang tidak. Meskipun biaya yang dipungut tersebut dimasukan kedalam APBDes. Permasalahan itulah setelah ditelusuri menjadi momok menakutkan bagi pemohon yang hendak memproses sertifikat tanah melalui PTSL. Dengan alasan perekonomian si pemohon batal memproses sertifikat tanah melalui PTSL.
“Semua harus dilakukan sesuai prosedur apalagi menyangkut kepengurusan tanah melalui PTSL. Jangan sampai yang sejatinya PTSL itu biayanya terjangkau menjadi batal lantaran mekanisme lainya,” terang Siswanto Sekretaris Komisi I DPRD Ngawi, Selasa, (22/01/2019).
Kemudian dari nara sumber lainya yang enggan disebutkan namanya menegaskan, jika tetap memungut biaya tanpa diatur sesuai regulasi yang jelas akan dilaporkan ke pihak berwajib dengan alasan pungli. Sebab, semua produk hukum seperti Perdes harus mengacu pada aturan hukum diatasnya. Jangan sampai tanpa ada dasar yang pasti untuk mengambil langkah-langkah.
“Bingung kalau PTSL jelas biayanya terukur sesuai aturan. Kalau harus bayar uang sejumlah ratusan ribu untuk kepengurusan SPPT maupun istilahnya pecah baku atau tumpi jelas kurang pas. Menurut saya perlu diproses hukum untuk melihat salah benarnya aturan itu,” terang narasumber.
Menurutnya, seluruh besaran biaya layanan pertanahan pun telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015, tentang jenis Penerimaan Negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. (pr)