NGAWI. Setahun lagi Ngawi akan memasuki tahun politik 2020 melalui gelaran Pilkada. Banyak pihak berharap proses demokrasi lima tahunan itu khusus di Ngawi menjadi satu tumpuan pasti terhadap kesejahteraan masyarakat.
Bukan sebagai momen melanggengkan kekuasaan dengan menggerus demokrasi itu sendiri. Demokrasi harus berada pada nilai hakiki yang semestinya. Etika politik tentu dikedepankan.
Pada era reformasi muncul gumpalan aspirasi dan gugatan kuat agar proses pemilihan langsung (Pilkada-red) sebagai sarana paling nyata bagi pelaksanaan demokrasi harus diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Laju politik ‘sendiko dawuh’ sudah menabrak norma dan rohnya demokrasi. Masyarakat melalui pemerintah maupun partai politik secara obyektif memberikan pendidikan politik yang utuh.
Saat ini masih setahun lagi menuju tahun politik. Pekerjaan yang harus perhatikan dengan seksama oleh lembaga penyelenggara pemilu (KPU-red) terutama terkait dengan daftar pemilih. Nantinya diharapkan akurasi daftar pemilih jangan bak bola karet.
Jangan sampai terjadi manipulasi dalam perhitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara, netralisasi institusi penyelenggara, dan berbagai permasalahan lainnya terkait dengan pelaksanaan Pemilu menjadi permasalahan yang urgen.
Proses pemilu yang diaktualisasikan melalui pemilihan kepala daerah sebagai syarat minimal penyelenggaraan demokrasi. Demokrasi harus utuh, bukan dimainkan dengan rekayasa politik. Perlu diketahui juga Pilkada Ngawi 2015 disinyalir ada deal-deal politik.
Kehadiran partai politik saat itu bak macan ompong. Sang jawara dari pelaksanan demokrasi lima tahunan itu sudah terbaca. Menimbang dari kekuatan lawan saat itu yang seolah hanya pelengkap.
Aspirasi politik tak mampu bergerak dan tersampaikan secara jelas. Diharapkan Pilkada Ngawi 2020 menjadi parameter hidupnya demokrasi bukan disentralisasi politik di wilayah tersebut. (by poer)