Oleh: Asrur Roji*)
*) Penulis adalah Ketua Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) Magetan dan Wakil Bendahara LPTNU Kabupaten Magetan
DALAM Islam, kepemimpinan mendapat perhatian yang sangat tinggi. Bahkan di kalangan ulama salaf sangat populer adigum, “Tujuh puluh tahun berada di bawah pemimpin zalim lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.” Pernyataan ini bukan berarti menoleransi kezaliman pemimpin melainkan petunjuk bahwa betapa pentingnya kehadiran seorang pemimpin. Dalam kumpulan individu yang majemuk, kepemimpinan berbanding lurus dengan keinginan tiap manusia untuk berada dalam sistem yang tertib, aman, tidak kacau.
Islam memang tidak mengajarkan tentang cara khusus bagaimana proses pengangkatan pemimpin (nasbul imâmah) dilangsungkan. Khulafaur Rasyidun yang memimpin setelah Nabi wafat pun diangkat sebagai pemimpin dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat melalui musyawarah di hadapan massa, Umar bin Khattab melalui penunjukkan Abu Bakar setelah konsultasi dengan para sahabat, Utsman bin Affan melalui tim formatur yang dibentuk Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib juga melalui kesepakatan masyarakat. Dengan demikian, persoalan pengangkatan kepemimpinan pada dasarnya adalah persoalan ijtihadi, yakni olah pikir dengan sungguh-sungguh tentang sistem politik yang paling sesuai dengan kemaslahatan di zamannya.
Di negeri kita tercinta ini, proses pengangkatan pemimpin dilalui lewat proses pemilihan umum atau pemilu. Dalam pemilu, semua orang berhak diangkat sebagai pemimpin dan berhak pula memilih siapa pun untuk menjadi pemimpin. Tentu saja hak ini dibatasi oleh norma-norma tertentu, semisal tidak menghalalkan segala cara dalam meraih suatu jabatan politik.
Politik pada dasarnya sangat mulia. Ia adalah perantara bagi tujuan terselenggaranya masyarakat yang adil, makmur, aman dan sejahtera. Tujuan tersebut adalah tujuan bersama, bukan tujuan pribadi atau segelintir kelompok. Karena politik hanya sebagai perantara (wasilah), bukan tujuan akhir (ghayah), politik seyogianya tak perlu dikultuskan, dilakukan secara membabibuta, hingga mengorbankan tujuan mulia dari politik itu sendiri.
Mekanisme one man one vote (satu orang satu suara) dalam pemilu, kini telah mendorong para kandidat pemimpin berlomba-lomba meraup simpati dan dukungan suara. Tak jarang pula, jalan instan pun kadang ditempuh: tak hanya mengobral janji manis tapi juga menebar uang suap (money politics) agar pilihan warga jatuh pada dirinya.
Islam melarang keras praktik politik uang semacam ini. Dalam Surat al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dalam sebuah hadits juga dijelaskan bahwa uang suap mendatangkan laknat.
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dari Tsaubah, dia berkats, ” Rasulullah SAW melaknat pemberi suap, penerima suap dan perantaranya yaitu orang yang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad).